Senin, 14 Februari 2011

TAQDIR, QADHA DAN QADAR
  30

TAQDIR, QADHA DAN QADAR


PENDAHULUAN
Iman kepada taqdir merupakan sesuatu yang
wajib bagi setiap muslim, sebab hal ini memiliki
sandaran nash-nash Alqur'an yang pasti (qoth'i)
serta dijelaskan oleh Rosulullah SAW dalam
sunnahnya.  Berbeda dengan iman kepada
'Qadha dan Qadar', ia bukan lahir dari nash-nash
syara' secara langsung.  Istilah Qadha dan
Qadar, sebagai istilah tertentu yang bermakna
tertentu pula,  tidak didapatkan dalam Al-Quran
maupun As-Sunnah. Jika kita kaji dari buku-buku
hadist, kita tidak akan menemukan masalah ini
(qodha dan qadar).  Kita hanya menemukan
pembahasan taqdir (atau al-qadar yang
bermakna taqdir).  Misalnya dalam Shahih
Bukhari hadist no. 6594-6620 dan Shahih Muslim
no. 2634-2664; yang merupakan bab khusus
tentang masalah taqdir. Di dalam Al-qur'an sendiri
tidak ada istilah 'qadha dan qadar' yang
digabungkan itu dan keduanya hanya ditemukan
terpisah (lihat indeks Al-Qur'an, Muh. Fuad Abdul
Baqi, hal 536-537 tentang al-qadar, dan hal. 546-
547 tentang qadha).
  Tiadanya istilah qadha dan qadar (yang
digabungkan, dan memiliki makna tertentu pula)
tersebut, karena memang masalah ini baru
muncul pada masa tabi'in (setelah masa
shahabat), pada akhir abad pertama Hijriyah
(awal abad kedua Hijriyah).

TAQDIR DAN PENGERTIAN IMAN
TERHADAPNYA

  Seorang muslim  beriman dan yakin
bahwa semua keadaan di dunia ini pasti
dikietahui oleh Allah SWT (karena memang Allah
Maha Mengetahui sesuatu/ bersifat Al-'Aliim);
baik kejadian yang telah terjadi, sedang maupun
yang akan terjadi.  Kejadian apapun bentuknya
telah diketahui oleh Allah SWT dan dituliskan di
Lauhul Mahfuzh (kitab induk dan gambaran
umum luasnya ilmu Allah SWT).
  Inilah pengertian sederhana dari taqdir
yang telah dijelaskan oleh Al-Qur'an dan hadist
Rosulullah SAW.  Dengan kata lain taqdir adalah
catatan (ilmu Allah) yang menyeluruh tentang
segala sesuatu. Yang dimaksud  de-ngan
'segala sesuatu', termasuk benda-benda,
manusia, amal perbuatannya, makhluk hidup lain,
dan lain-lain; semuanya telah tercata/ diketahui
oleh Allah SWT. dan dituliskan di Lauhul
Mahfuzh.
  Setiap muslim wajib beriman kepada
taqdir karena ia bagian dari rukun iman,
berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dari Umar bin Khathab; ketika itu Ma-
laikat Jibril datang kepada Nabi SAW dan
bertanya :







     "Coba ceritakan apa iman itu?  Lalu Rosulullah
menjawab :  Iman itu percaya kepada adanya
Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-
Nya, hari kiamat dan percaya kepada taqdir baik
dan buruknya berasal dari Allah SWT." (HR.
Muslim).

Seorang yang tidak percaya kepada taqdir, maka
imannya cacat bahkan dapat mengeluarkannya
dari Islam, karena masalah ini telah tegas
dijelaskan oleh nash-nash Al-Qur'an dan hadist
Rosulullah SAW, seperti ayat  :




      "Sesungguhnya Kami menciptakan segala
sesuatu menurut taqdirnya/ukurannya" (QS. Al-
Qamar :49).

  Dalam menafsirkan ayat ini Imam Asy-
Syuyuti menyatakan :

  "Kepercayaan yang dipegang oleh Ahlus
Sunnah Wal Jama'ah adalah bahwa Allah SWT.
telah mentaqdirkan segala sesuatu.  Artinya Dia
telah mengetahui ukuran, kondisi, peraturan, dan
waktunya, jauh sebelum sesuatu itu terjadi.  Oleh
karena itu tidak ada sesuatu kejadian di langit
dan bumi kecuali seluruhnya muncul dari ilmu,
qudrah (kekuasaan) dan iradah (kehendak) Allah
SWT." (lihat Tafsir Imam Qurthubi juz XVII hal.
148).
   31
  Makna dari semua ini adalah bahwa
Allah SWT telah mengetahui segala sesuatu
tentang manusia sebelum ia diciptakan.  Dia juga
mengetahui ketetapan nasib seseorang di dunia
ini  maupun di akhirat kelak (bahagia atau celaka,
sukses atau gagal, kaya atau miskin, umurnya,
dsb).

  Pahamilah, pembahasan masalah taqdir
sebenarnya hanyalah pembahasan tentang
kekuasaan Allah SWT. Taqdir merupakan  ilmu
Allah dan kekhususan bagi-Nya (ilmu Allah
mencakup segala sesuatu karena Ia memang
bersifat Al-Aliim) dan   mustahil ada sesuatu yang
tidak diketahui-Nya.
  Hadist berikut ini menunjukkan wajibnya
iman kepada taqdir dan larangan mengingkarinya
:




     "Bagi setiap umat akan muncul segolongan
manusia yang berperilaku seperti majusi.  Orang-
orang majusi mengatakan bahwa tidak ada taqdir.
Jika diantara mereka ada yang meninggal, maka
janganlan kalian menghadiri jenazahnya.  Jika
mereka sakit, janganlah dijenguk, (sebab) mereka
adalah (sama dengan) golongan dajjal.  Memang
pantas ketentuan tersebut, yaitu menghubungkan
perilaku mereka yang mirip dengan dajjal, adalah
ketentuan yang haq (benar) dari Allah SWT."
(HR. Abu Dawud dari Hudzaifah, lihat Sunan Abu
Dawud, juz, IV hal. 222).
  Meskipun kita beriman kepada taqdir
(ilmu) Allah SWT, tetapi janganlah
mencampuradukkan antara     "iman kepada
taqdir" tersebut dengan  "amal perbuatan
manusia"; karena keduanya tidak ada hubungan
sama sekali.  Artinya, ilmu Allah (taqdir)  tidak
pernah memaksa seseorang untuk berbuat
sesuatu dan juga tidak pernah memaksa
seseorang untuk tidak berbuat sesuatu.
  Rosulullah SAW. telah melarang para
shahabatnya mencampuradukkan pemahaman
taqdir dengan amal perbuatan manusia yang
dapat menyebabkan manusia tidak mau
berusaha. Harus dipahami bahwa ada perbedaan
antara:  Apa-apa yang harus diyakini dengan
apa-apa yang harus dikerjakan !
  Telah diriwayatkan dalam Shahih
Muslim dari Ali bin Abi THalib ra. yang artinya :

  "Rosulullah SAW. suatu hari duduk-
duduk (bersama para shahabat).  Di tangan
beliau ada sepotong kayu, lalu dengan kayu
tersebut beliau menggores-gores (tanah).  Lalu
nabi mengangkat kepala dan berkata : "Setiap
kalian yang bernyawa sudah ditetapkan
tempatnya di jannah (surga) dan jahannam:.
Para shahabat (terkejut) lalu bertanya : "Kalau
demikian ya Rosulallah apa gunanya kita
beramal? Apakah tidak lebih baik kita
bertawakkal saja (kepada taqdir)? Beliau
menjawab : "Jangan! tetaplah beramal, setiap
orang akan dimudahkan oleh Allah jalan yang
sudah ditentukan baginya". Lalu Rosulullah
membaca surat Al-lAil ayat 5-10". (lihat Syarah
Shahih Muslim, Imam Nawawi, juz XVI, hal. 196-
197).

  Sesungguhnya Islam mengajarkan
bahwa manusia diciptakan dengan bekal akal,
kekuatan, persiapan tenaga dan ilmu agar ia
mampu membedakan mana yang salah dan
mana yang benar sebagai standar perbuatannya.
Dengan demikian maka secara suka rela
manusia akan memilih (tanpa adanya unsur
paksaan) suatu kehendaknya sendiri.  Karena
sesungguhnya taqdir hanyalah  pemberitahuan
tentang ilmu Allah yang sangat luas, meliputi
segala sesuatu dan ilmu Allah tersebut    tidak
pernah memaksa seseorang untuk berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.    
(Lihat Imam Al-Khattabi dalam Aqidah Islam,
Sayyid Sabiq, hal. 151.)

  Tak ada seorang manusiapun yang tahu
apa yang tertulis bagi dirinya di Lauhul Mahfuzh.
Karenanya tidak bisa dibenarkan jika ada
seseorang yang berkata    : "Saya berbuat begini
karena telah dituliskan oleh Allah SWT di Lauhul
Mahfuzh harus berbuat begini."  Karena,
darimana ia tahu bahwa Allah telah menuliskan
perbuatan tersebut baginya di Lauhul Mahfuzh ?
  Sesungguhnya beriman kepada taqdir
dalam pemahaman yang benar, pasti akan
memberikan suatu kekuatan semangat juang
yang luar biasa.  Pemaahaman yang utuh akan
memberikan dorongan yang positif untuk me-raih
kehidupan bahagia yang sesuai dengan perintah
Allah dan Rasul-Nya dalam garisan syari'at Islam.
Selain itu hal tersebut juga akan memberikan
ketabahan dan keberanian dalam membela yang
haq, berhati baja dalam merealisasikan hal-hal
yang haq serta menetapi segala kewajiban yang
dibebankan kepadanya. Tidak ada istilah lemah
atau putus asa dalam kamus orang yang beriman
kepada taqdir dengan pemahaman yang benar.
Ia akan menjadi orang yang bersyukur ketika
langkah-langkahnya memberikan keberhasilan/
kebaikan dan ia akan menjadi orang yang sabar   32
ketika langkah-langkahnya tidak memberikan
keberhasilan.

QADHA DAN QADAR SERTA
PENGERTIAN IMAN TERHADAP
KEDUANYA

Asal Mula Munculnya Istilah   
Qadha dan Qadar

  Akhir abad kedua merupakan masa
suburnya penaklukan yang dilakukan oleh
Khilafah Islamiyah ke seluruh penjuru dunia.  Ba-
nyak hal baru mulai ditemukan, termasuk usaha-
usaha menerjemahkan faham-faham di luar Islam
semisal filsafat (Yunani).  Pada awalnya hanya
semacam kebutuhan untuk menjawab dan
berdebat dengan mereka setelah dari fihak
Nasrani terlebih dahulu mempelajarinya untuk
mempertahankan akidah mereka.  Kaum
Muslimin tergerak untuk mendalami filsafat
Yunani untuk membantah masalah-masalah yang
dilontarkan fihak Nasrani, terutama  dalam bidang  
"kebebasan bertindak"  (Free will).

Faham Qadariyah (Muktazilah)

  Ketika Islam telah menyebar ke hampir
seluruh penjuru dunia, kemunculan berbagai
faham di dalam ajaran Islam sulit untuk dihindari.
Karenanya kemunculan segolongan dari kaum
Muslimin yang berpendapat bahwa manusia itu
bebas berkehendak atau terlepas dari taqdir Allah
SWT adalah salah satu akibat persinggungan
Islam dengan budaya setempat.  Golongan ini
mengatakan bahwa manusia bebas berkehendak;
artinya manusia memiliki kemampuan  (qadar)
untuk berusaha sendiri.  itulah sebabnya akhirnya
golongan ini disebut dengan "Qadariyah"  1)
.
Mereka menolak pengaturan untuk segala
sesuatunya sesuai dengan takdir (Al-Qadar)
maupun dalam ketetapan Allah
2)
. Faham ini
pertama kali dikembangkan oleh  Washil bin
Atha'.
  Secara garis besar, Muktazilah
berpendapat bahwa manusia memiliki kehendak
(iradlah), kekuatan, kekuasaan (kudrat,  power)
dan kebebasan (huriyah, freedom) untuk berbuat
atau tidak berbuat serta terlepas dari kehendak,
kekuasaan dan takdir Allah.  Karena itu, menurut
faham ini, wajar dan adil apabila manusia harus
bertanggung jawab atas semua perbuatannya3)
.
Golongan ini memandang bahwa manusia
sesungguhnya menciptakan segala perbuatannya
dengan ikhtiar dan kudratnya sendiri sementara
iradlat dan kudrat Allah tidak turut campur dalam
perbuatan manusia
4)

 Inilah faham  indeterminasi  (Qadariyah)
dari filsafat Yunani yang merasuk ke pemikiran
dunia Islam yang menyebabkan ba-nyaknya
orang yang terselewengkan, hanyut oleh fikiran
melayang yang akhirnya jatuh ke jurang
kesesatan, bahkan pemikiran ini telah
mengganggu persatuan umat
 5).
  Untuk mendukung pendapat mereka,
Muktazilah gemar menakwilkan ayat-ayat Al-
Qur'an   6)
.  Ayat-ayat Al-Qur'an yang sering
dikutip adalah ayat-ayat yang menunjukkan
bahwa manusia mendapat balasan atas
perbuatannya misal-nya:



  "(Dan) Katakanlah: 'Kebenaran itu
datangnya dari Rabbu. Maka, siapa saja yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman.  dan siapa
sajayang ingin (kafir), biarlah ia kafir..." (QS. Al-
Kahfi 29).

  Dalam perkembangannya, faham ini
telah dirangkul erat-erat oleh ahli fikir Barat yang
ingin menyesatkan kaum Muslimin de-ngan cara
melepaskan mereka dari imannya. Padahal Islam
telah memulai risalahnya dengan penanaman
iman dan beriman kepada enam rukun Iman yang
dimulai dengan iman kepada Allah dan Rasul-
Nya.  Inilah ikatan yang mengekang manusia
dalam menggunakan akalnya, yaitu segala
sesuatu telah diberikan batas, dari garis halal dan
haramnya. 
  Muktazilah adalah golongan yang
bergerak dalam tiga fungsi
  7) :  agama-filsafat-
politik.  Nama lain Muktazilah adalah Qadariyah,
Adliyah, atau  "Ahlul Adli wat-Tauhid"
(penganut faham keadilan dan keesaan Allah).

Faham Jabariyah

  Faham ini sangat bertolak belakang
dengan faham sebelumnya.  Mengenai
kemunculannya, ada yang berpendapat bahwa
faham jabariyah muncul sebelum adanya
Muktazilah8)
.    Orang  pertama  yang
memelopori faham "Jabariyah" adalah    Jahmu
bin Sofwan9).  Ia berkata bahwa manusia itu
tidak memiliki kekuasaan untuk memilih.  Ia harus
pasrah.  Ia tidak mengerjakan sesuatu selain apa
yang telah ditentukan, dan bahwa Allah telah
menakdirkan amal perbuatan manusia yang   33
harus dikerjakan sebagaimana Allah telah
menciptakan benda-benda.  Ia tidak ubahnya
seperti air yang mengalir, angin yang berhembus,
batu yang jatuh (tertarik gaya grafitasi). Manusia
melakukan sesuatu apapun sesuai dengan apa
yang telah ditetapkan oleh Allah (ia hanya
berfungsi sebagai alat, tidak lebih dari itu).      Oleh karena itu, pahala, siksa dan amal perbuatan
maka orang tersebut telah ditakdirkan akan
mendapat siksa.
  Iman Sa'duddin At-Taftazany
10)
menyebutkan golongan ini berpendapat bahwa
manusia sekali-kali tidak menguasai dirinya
dalam setiap perbuatan, apakah baik atau jahat.
Manusia bukan subyek, melainkan hanya sebagai
obyek (kehendak dari luar).  Dengan kata lain,
manusia dipaksa oleh kekuatan dari luar dirinya,
yakni atas kehendak dan kekuasaan Allah.  Ia
tidak mempunyai kebebasan berkehendak (laa
hurriyyatul iradah), dan tidak memiliki kekuasaan
untuk berbuat sesuatu".

Faham Ahlussunnah Wal Jam'ah

  Mohammad Fuad Fachruddin
11)
 me-
ngatakan bahwa kemunculan dua faham di atas,
mendorong kalangan ulama Ahlussunnah, seperti
Abul Hasan Al-Asy'ari   dan  Mansur Al-
Maturidy
12) memberikan jawaban untuk
membela akidah umat Islam agar tidak tersesat
oleh faham Muktazilah (Qadariyah) maupun oleh
Jabariyah.
  Walaupun di kalangan Ahlussunnah Wal
Jama'ah terbagi dua golongan, tetapi mereka
sepakat bahwa manusia mempunyai (diberi)
kebebasan berkehendak, berkuasa dan
berpengetahuan (knowledge), tetapi hanya
sampai ujung tertentu (ada batasnya/dibatasi).    a diri ma Faham ini berpendapat bahwa sesungguhnya pad n
seseorang akan/sedang berbuat maksiat atau
perbuatan terpuji, maka ketika itulah Allah
menciptakan perbuatan tersebut bagi si hamba.
Kesimpulan itu diambil dari beberapa ayat Al-
Qur'an, antara lain :




  "Mereka itulah penghuni jannah.
Mereka kekal di dalamnya sebagai balasan atas
apa yang telah mereka kerjakan" (QS. Al-Ahqaf
14).

  "Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya.  Ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya" (QS. Al-Baqarah
266).




  "(Dan) Katakanlah: Kebenaran itu
datangnya dari Rabbu.  Maka, siapa saja yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman.  Dan siapa
saja yang ingin (kafir), biarlah ia kafir ..." (QS. Al-
Kahfi 29).

  Dalam pembahasan ayat-ayat tersebut,
faham ini memunculkan sifat Maha Adil (keadilan)
Allah. Mereka mengkaitkan  sifat Maha Adil itu
dengan dosa dan  pahala, atau, siksa dan
kenikmatan, yang erat kaitannya dengan
perbuatan. 

 BAGAIMANA MENYIKAPI
  BERBAGAI PAHAM INI ?

  Demikianlah, kaum Muslimin terpecah
ke dalam tiga golongan besar ketika mereka
membahas  amal/perbuatan manusia yang
dikaitkan dengan asas taklif, pahala dan siksa.
Terjadinya golongan-golongan tersebut
disebabkan karena  mereka  menakwilkan
beberapa nash ayat Al-Qur'an tentang perbuatan
manusia yang menurut mereka muncul atas
kekuasaan  ma-nusia  sendiri ,  juga  karena  
ada nash dari ayat Al-Qur'an yang menurut
mereka menunjukkan  bahwa perbuatan manusia
tergantung kepada kehendak Allah.  Golongan
pertama dari kalangan Mu'tazilah, golongan
kedua dari golo-ngan Jabbariyah.  Namun ada
golongan yang berada di tengah-tengah kedua
golongan tersebut, yaitu dari kalangan
Ahlussunnah13).

Dasar Pembahasan Masalah
'Qadla dan Qadar'

  Sesungguhnya, apabila kita meneliti
masalah 'qadhla dan qadar' (sebagai suatu istilah
baru, yang memiliki makna tersendiri) akan kita
dapati bahwa ketelitian pembahasannya
menuntut kita untuk mengetahui terlebih dahulu
dasar berdirinya pembahasan ini atau dengan
kata lain, apa yang menjadi dasar pembahasan
dalam permasalahan qadha dan qadar ini. 
  Sesungguhnya, dasar pembahasan/
permasalahan  ini  adalah pertanyaan  :     34

'Apakah manusia itu dipaksa untuk melakukan
(atau meninggalkan) suatu perbuatan (baik
atau buruk), ataukah ia diberi kebebasan
memilih?  
  Inilah yang menjadi dasar pembahasan
masalah 'qadha dan qadar', yaitu  'perbuatan
manusia'. Karena 'perbuatan manusia'
merupakan hal yang dapat diindera bahkan dapat
dirasakan, maka dalil-dalilnyapun bersifat  aqli.
Dengan demikian jelaslah permasalahan yang
akan dibahas dalam tema 'qadha dan qadar' ini.


Hakikat Perbuatan Manusia dan
Kejadian-kejadian yang Menimpa
Manusia

  Sesungguhnya, apabila kita meneliti
suatu perbuatan/kejadian, yang dilakukan atau
yang menimpa manusia, akan kita jumpai
bahwasanya manusia itu hidup dan beraktivitas
dalam dua jenis perbuatan yaitu :

a. Perbuatan yang berada di bawah kontrol
manusia, yang timbul karena semata-mata
pilihan dan keinginannya sendiri.
b. Perbuatan yang berada di luar kontrol dan
keinginan manusia. Pada bagian ini manusia
berbuat atau terkena perbuatan yang berada
di luar kemampuan dan kehendaknya.
Manusia dipaksa menerimanya.

Contoh perbuatan dan kejadian yang pertama
mudah diketahui, semisal, apakah kita mau
duduk atau berjalan, makan-minum atau tidak,
minum sirup atau khamr, berbakti atau durhaka
kepada orang tua, belajar atau tidak dan lain-lain.
Seluruh perbuatan ini, jelas dilakukan atas
kesadaran dan kesukarelaan manusia, tanpa
paksaan dari pihak manapun.
  Pada jenis perbuatan yang kedua
manusia tidak memiliki peran  apapun atas
kejadiannya. Manusia dipaksa untuk menerima
nya,  sukarela maupun terpaksa, karena memang
berada di luar kekuasaan manusia.
  Jenis perbuatan dan kejadian-kejadian
kedua ini terdiri dari dua bentuk.  Pertama,
kejadian yang ditentukan oleh 'nidzom wujud'
(Sunnatullah/ peraturan alami); misalnya ia lahir
dari seorang ibu dengan bentuk fisik dan warna
kulit tertentu, hidup terikat dengan gravitasi bumi,
ia tidak dapat terbang dan bernafas dalam air,
dsb. 
 Kedua, kejadian yang tidak ditentukan
oleh 'nidzom wujud', namun tetap berada di luar
kekuasaan manusia, seperti seseorang yang
terjatuh dari atas tembok dan menimpa orang lain
dan orang yang tertimpa tersebut meninggal, atau
seperti halnya kecelakaan pesawat, kereta api
dan mobil disebabkan karena kerusakan
mendadak, baik yang berasal dari manusia atau
yang malah di luar kemampuannya; meskipun
tidak ditentukan oleh 'nidzom wujud', akan tetapi
semua kejadian itu tetap terjadi tanpa kehendak
manusia dan berada di luar kekuasaannya. 

  Segala perbuatan dab  kejadian yang
berada di luar kontrol manusia tersebut inilah
yang dinamakan  qadha (keputusan) Allah.
Sebab Allahlah yang meng-'qadha' (memu-
tuskannya). Terlepas apakah hal/keputusan  itu
menjadi kebaikan (qadha yang baik)  atau
keburukan (qadha yang buruk), menurut
penafsiran manusia.  Yang jelas, kebaikan/
keburukan tersebut bukan menimpa kita karena
adanya 'hari baik', hari sial, memakai jimat/
mantra dsb. Semua itu diputuskan oleh Allah
untuk menimpa kita. Inilah qadha Allah SWT, dan
tidak ada satu makhlukpun yang dapat
menentukan hal ini selain Allah semata.
  Oleh karena itu seorang hamba tidak
akan dihisab atas terjadinya kejadian-kejadian ini.
Meskipun kejadian tersebut mengandung
manfaat atau kerugian, disukai atau dibenci oleh
manusia.    Manusia tidak akan dihisab atas
kejadian ini, sebab manusia tidak memiliki
pengaruh terhadap kejadian tersebut, serta tidak
tahu menahu mengenai kejadian tersebut,
bagaimana hal tersebut bisa terjadi.  Iapun tidak
memiliki kemampuan sama sekali untuk menolak
atau mendatangkannya.   Manusia hanya
diwajibkan untuk beriman akan adanya qadha,
dan bahwasanya qadha itu datang dari Allah
SWT, bukan dari yang lain.
 Itulah pengertian  qadha (dalam
pembahasan istilah 'qadla dan qadar' yang
digabungkan ini). Sedangkan untuk memahami
pengertian  qadar, dapat disimak dari uraian
berikut ini.

Memahami makna Qadar
 
  Bahwasannya segala perbuatan dan
kejadian, baik jenis yang pertama maupun yang
kedua, semuanya   terjadi dari benda, me-
nimpa/ terhadap benda, baik benda itu termasuk
dalam unsur alam semesta, manusia maupun
kehidupan.  Misalnya, peristiwa tabrakan antara
mobil (benda, bersifat keras) dengan manusia;
kebakaran, antara api dengan benda lain, dsb.   35
  Sesungguhnya, Allah SWT juga telah
menciptakan benda-benda tersebut beserta
khasiat-khasiat/karakteristik (sifat-sifat) tertentu
pada benda-benda tersebut.  Contohnya saja di
dalam api diciptakan khasiat 'membakar'.  Dalam
kayu terdapat khasiat 'terbakar'.  Dalam pisau
(benda tajam) terdapat khasiat memotong,
demikian seterusnya. Pada manusia adarasa
lapar, haus dll. juga ada gharizah / naluri seperti
naluri seksual, mempertahankan diri, naluri
beragama, dsb
  Allah SWT telah menjadikan khasiat-
khasiat ini tunduk sesuai dengan 'nidzom wujud'
yang tidak bisa dilanggar lagi.  Bila suatu waktu
tampak khasiat ini melanggar 'nidzom wujud', hal
ini karena Allah SWT telah menarik khasiat tadi.
Hal ini merupakan sesuatu yang berada di luar
kebiasaan, yang hanya terjadi bagi para nabi dan
menjadi mukjizat bagi mereka. 
  Seluruh khasiat yang diciptakan oleh
Allah ini, baik yang terdapat pada benda-benda
ataupun yang terdapat pada manusia (gharizah
serta kebutuhan jasmani), inilah yang dinamakan   
qadar  (penetapan batasan/kadar).  Sebab hanya
Allah sendiri yang menciptakan benda-benda,
gharizah-gharizah serta kebutuhan jasmani
tersebut,   Dan Ia menetapkan khasiat-khasiat di
dalamnya.  Khasiat-khasiat ini tidak datang
dengan sendirinya   dari   unsur-unsur   tersebut -
-seperti pernyataan orang-orang atheis-
materialis. 
         Dalam masalah  ini,   manusia  sama  sekali
tidak memiliki andil atau pengaruh apapun.  Ia
hanya diwajibkan untuk mengimani bahwa yang
menetapkan khasiat-khasiat dalam benda-benda
tersebut hanyalah Allah SWT.
  Perlu dipahami bahwa seluruh khasiat
ini memiliki     'qabiliyyah' (tendensi/ kecenderu-
ngan) untuk digunakan oleh manusia guna
berbuat suatu amal perbuatan. Apakah perbuatan
itu berupa kebaikan ataukah keburukan. Apabila
digunakan sesuai dengan perintah Allah,
perbuatan tersebut berarti perbuatan 'baik'.
Sedangkan apabila digunakan untuk melanggar
aturan Allah SWT, berarti ia telah berbuat 'jahat'.
Baik ia melakukan perbuatannya itu de-ngan
menggunakan khasiat-khasiat yang ada pada
benda, atau dengan memenuhi panggilan
gharizah dan kebutuhan jasmaninya. 


Makna Iman kepada Qadla dan
Qadar, Baik-buruknya dari Allah SWT

  Dengan demikian, perbuatan atau
kejadian yang berada di luar kontrol dan
kemauan manusia, datangnya dari Allah, apakah
baik atau buruk.  Dan khasiat-khasiat yang ada
pada benda-benda, gharizah-ghazirah serta
kebutuhan jasmani juga datangnya dari Allah,
baik hal itu bisa menghasilkan kebaikan ataupun
keburukan.  Oleh karena itu wajib bagi seorang
muslim untuk beriman kepada qadha, baik dan
buruknya dari Allah SWT. 
  Dengan kata lain meng'itiqadkan
bahwasanya perbuatan dan kejadian yang
berada di luar kekuasaannya adalah dari Allah
SWT.  Dan wajib pula bagi seorang muslim untuk
beriman kepada qadar, baik dan buruknya dari
Allah SWT.  Baik khasiat-khasiat tersebut dapat
menghasilkan kebaikan ataupun keburukan.
Manusia sebagai makhluk tidak mempunyai
pengaruh apapun dalam hal ini.  Misalnya
terhadap ajalnya, rizkinya dan dirinya, kecende-
rungan seksualnya yang terdapat pada
gharizatun-nau', atau rasa lapar dan haus yang
terdapat pada kebutuhan jasmaninya.  Hal ini
semuanya datang dari Allah SWT semata.

Amal Manusia Yang Akan Dihisab

 Demikianlah pembahasan yang
berkaitan dengan perbuatan dan kejadian yang
terjadi di luar kontrol dan kemauan manusia.
Adapun pada   perbuatan dan kejadian yang
berada di bawah kontrol dan kemauan manusia
maka pada wilayah ini    manusia berjalan 'secara
sukarela' di atas 'nidzom' (peraturan) yang
dipilihnya, baik itu syari'at Allah atau syari'at yang
lainnya.  Pada bagian inilah terjadi kejadian dan
perbuatan yang berasal atau me-nimpa manusia
disebabkan kehendaknya sendiri.  Ia berjalan,
makan, minum, dan bepergian kapan saja
dikehendakinya.  Ia membakar dengan api dan
memotong dengan pisau apa saja yang
dikehendakinya.  Dan ia memuaskan keinginan
seksualnya ataupun keinginan memiliki barang,
atau keinginan perutnya de-ngan cara apapun
yang ia kehendaki.Ia 'melaku- kannya' dengan
sukarela sebagaimana ia 'tidak melakukanya'
juga dengan sukarela, karena itulah ia akan
ditanya atas perbuatan-perbuatannya di dalam
bagian ini.
  Bila terjadi suatu perbuatan atau
kejadian, bukan 'qadar' ini yang  melakukan
perbuatan, melainkan manusialah yang
melakukan perbuatan dengan memanfaatkan
khasiat tadi.  Dorongan seksual yang terdapat
pada  gharizatun- nau' memang mempunyai
'qabiliah' (kecenderungan) untuk kebaikan atau
keburukan. 
  Hal ini karena Allah SWT telah   36
menciptakan akal bagi manusia yang mampu
membedakan. Di dalam tabi'at akal ini diciptakan
kemampuan memahami serta membeda-
bedakan; mana yang baik  (taqwa), dan mana
yang buruk, sebagaimana firman-Nya.



  "(Dan) Ia pun memberinya ilham akan
mana yang buruk dan mana yang taqwa" (QS.
As-Syams 8).
  Dan di sisi lain, Allah telah menunjukkan
kepada manusia jalan baik dan buruk :



  "Telah kami tunjukkan padanya dua
jalan" (QS. Al-Balad 10)
  Maka, apabila manusia memuaskan
panggilan gharizah dan kebutuhan  jasmaninya
sesuai  dengan  perintah  dan  larangan Allah
SWT berarti ia telah melakukan kebaikan dan
berjalan di atas jalan taqwa.  Akan tetapi apabila
ia memenuhi panggilan gharizah dan kebutuhan
jasmani seraya  berpaling dari perintah Allah dan
larangan-Nya berarti ia telah melakukan
perbuatan buruk dan berjalan di atas jalan
kejahatan.  Berdasar hal inilah manusia dihisab
atas perbuatan-perbuatan  yang  berada pad
kontrolnya. Kemudian diberi pahala dan dosa
tergantung pada  perbuatannya.  Sebab ia
melakukannya secara sukarela tanpa ada
paksaan sedikitpun. (qadar Allah pad benda dan
manusia tidak pernah  'memaksa' manusia untuk
berbuat sesuatu).
  Allah menjadikan akal sebagai sandaran
(manath) pembebanan kewajiban syari'at.
Karenanya Allah menyediakan pahala bagi
perbuatan baik, sebab akalnya telah memilih
untuk menjalani perintah Allah dan menjauhi
larang- an-Nya.  Sedangkan untuk perbuatan
jahat, manusia disediakan siksaan, sebab
akalnya telah memilih untuk melanggar perintah
dan larangan Allah sebagaimana firman-Nya: 



  "Setiap diri bertanggung jawab atas apa
yang telah diperbuatnya" (QS. Al-Mudatsir 38). 

*****

1)Kitab "Fajrul Islam", Ahmad Amin, h. 283-303. Gol.
ini mempunyai kebiasaan berdebat (mutakallimin)
dalam bid.agama (Theologiche Dialektika).
2)Opcit., Ahmad Amin.
3)Kitab "Al-Aqa'id Nasyafiyah",At-Taftazany, h.46.
4)Buku "Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/
Kalam", TM. Hasbi Ash-Shidieqy, h.-115.
5)Buku "Sejarah Pemikiran Dalam Islam",
Muhammad Fuad Facruddin, h. 158-174.
6) Opcit., Mohammad Fuad Fachruddin.
7) Opcit., Muhammad Fuad Fachruddin.
8) Opcit., Ahmad Amin.
9) Golongan ini dikenal dengan nama golongan
Jahmiyah yang menisbatkan kepada pendirinya,
Jahm bin Shafwan.
10) Opcit., At-Taftazany
11) Opcit., Mohammad Fuad Fachruddin.
12) Dari nama Ulama Ahlus-Sunnah ini, muncul golo-
ngan As'ariyah dan Maturidiyah.
13) Lihat Imam Ibnu Hazm dalam "Al-Fishal Fil-Mihal
wan-Nihal", jilid III, halaman 51-164.